Kamis, 22 Agustus 2013

Konsultasi Publik Controlleed Wood

Konsultasi Publik Controlleed Wood
Perum Perhutani KPH Banten
Tanggal 22 Agustus 2013

Sesuai dengan visi Perum Perhutani yaitu menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan salah satu misi Perum Perhutani yaitu mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestry serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan; menjadikan Pengelolaan Hutan Lestari
(PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM) merupakan kebijakan strategis yang harus dilaksanakan.


Secara internasional, standar PHL/SFM voluntary yang berbasis pasar dan banyak diakui oleh negara-negara produsen dan konsumen produk kayu adalah standar yang dikeluarkan oleh FSC (Forest Stewardship Council) dan PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification). Perum Perhutani secara voluntary memilih untuk menggunakan standar FSC sebagai standar sertifikasi dan implementasi PHL (10 prinsip dan 56 kriteria) serta standar controlled wood secara corporate sebagai pengganti Policy on Association (PoA) FSC sebagai pemenuhan komitmen diluar KPH-KPH yang bersertifikat PHL/SFM FSC.
Secara nasional, Kementerian Kehutanan mengeluarkan peraturan (mandatory) dengan diterbitkannya Peraturan Menteri No. P.38/Menhut-II/2009, direvisi menjadi P.68/Menhut-II/2011 dan direvisi kembali menjadi P.45/Menhut-II/2012 tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak, yang dijabarkan dalam kriteria, indikator dan standar verifikasi dalam Perdirjen No. P.6/VI-Set/2009 dan P.02/VI-BPPHH/2010 jo. P.06/VI-BPPHH/2010, direvisi menjadi P.08/VI-BPPHH/2011 dan direvisi kembali menjadi  P.08/VI-BPPHH/2012.
Mekanisme untuk mendapatkan bukti komitmen perusahaan pengelola hutan yang mempunyai beberapa Forest Management Unit (FMU) seperti Perum Perhutani, baru muncul pada tahun 2010 dengan nama PoA (Policy on Association). Hal ini juga tidak mudah untuk dilaksanakan mengingat KPH-KPH diluar KPH sertifikasi SFM FSC, bukti pemenuhan; selain bukti pemenuhan legalitas pemanenan kayu; sangatlah terbatas, seperti : Identifikasi HCVF, penanganan tenurial, penanganan konflik tanpa kekerasan (drop the gun), tidak dilakukannya konversi hutan alam/hutan alam sekunder serta implementasi konvensi inti ILO (Internaltional Labour Organization) yang telah diratifikasi dan peraturan ketenagakerjaan.
Berdasarkan kebijakan Direksi saat ini dan telah disetujui oleh FSC, maka secara corporate Perum Perhutani akan melaksanakan sertifikasi standar Controlled Wood FSC sebagai pengganti PoA yang standarnya hampir sama.
Adapun standar Controlled Wood FSC sesuai FSC-STD-30-010-(V-2) EN tahun 2006 adalah bahwa Perum Perhutani tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.   Pemanenan kayu secara illegal, sehingga :
1.1. Pemanenan harus dilakukan sesuai dengan semua peraturan yang berlaku untuk melakukan pemanenan dalam wilayah hukumnya.
1.2. Semua spesies, kualitas dan kuantitas harus diklasifikasikan dan didata sesuai dengan standar aturan yang sudah ditentukan atau yang dapat diterima.
2.   Pemanenan kayu dengan melanggar hak-hak tradisional dan sipil, sehingga :
2.1.  Ada bukti bahwa tidak ada pelanggaran Hak-hak ditempat kerja dan prinsip dasar Konvensi ILO di KPH/Unit Kerja lainnya
2.2. Tidak ada konflik yang berkaitan dengan penguasaan lahan baik hak guna atau lahan dari kelompok masyarakat tradisional atau adat yang ada di KPH/Unit Kerja lainnya di bawah kontrol perusahaan pengelola hutan yang proses penyelesaiannya belum disepakati oleh para pihak utama yang bersengketa
2.3. Terdapat bukti tidak ada pelanggaran Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Hukum Adat yang terjadi di KPH-KPH/Unit Kerja lainnya di bawah kontrol perusahaan pengelola hutan
2.4. Perusahaan Pengelola Hutan harus melaksanakan proses konsultasi untuk mengidentifikasi potensi konflik yang  berkaitan dengan lahan hak guna penguasaan atau lahan dari kelompok masyarakat tradisional atau adat di daerah yang terpengaruh oleh kegiatan perusahaan
2.5. Dalam kasus dimana terdapat proses resolusi konflik, perusahaan pengelola hutan harus menyediakan bukti proses dimana sengketa sedang diselesaikan, yang menunjukkan terdapat dukungan yang luas dari para pihak yang bersengketa, dan terdapat proses sementara yang disepakati untuk menangani sengketa dan untuk pengelolaan kawasan hutan yang bersangkutan.

3.   Pemanenan kayu dimana aktivitasnya mengancam hutan dengan nilai-nilai konservasi tinggi (HCV), sehingga :
3.1.  Aktivitas pengelolaan hutan di KPH tidak mengancam areal dengan nilai konservasi tinggi.
3.2.  Pengelola hutan harus menyimpan catatan bukti yang menunjukkan pemenuhan bagian 3.1. diatas. Bukti harus meliputi tetapi tidak terbatas hanya pada :
a.   Catatan-catatan penilaian HCV (misal penilaian ekologi, penilaian dampak lingkungan atau sensus satwa liar, penilaian sosial) sesuai lingkup KPH/Unit Kerja lainnya dan intensitas pengelolaan untuk mengidentifikasi keberadaan nilai  konservasi tinggi
b.   Bukti konsultasi dengan para pemangku kepentingan dalam kaitannya dengan tindakan pencegahan, termasuk LSM dan para pihak yang terlibat atau memiliki kepentingan di kawasan hutan sehubungan dengan aspek sosial atau lingkungan. Jika relevan, penilaian harus mencakup konsultasi dengan wakil dan anggota masyarakat dan masyarakat adat yang tinggal di/atau berdekatan dengan KPH/Unit Kerja lainnya
c.    Daftar nilai-nilai konservasi tinggi (HCV) yang sudah diidentifikasi di KPH/Unit Kerja lainnya, beserta bukti yang menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut tidak terancam di KPH/Unit Kerja lainnya.


4.   Pemanenan kayu berasal dari areal yang dikonversi dari hutan dan dari ekosistem berhutan lainnya untuk dijadikan hutan tanaman atau penggunaan non-kehutanan, sehingga :
4.1. Tidak terdapat konversi hutan alam dan hutan alam sekunder dan ekosistem berhutan lainnya seperti hutan dan savana menjadi hutan tanaman atau penggunaan non-kehutanan, kecuali sebagaimana yang diijinkan pada bagian 4.3. dibawah ini
4.2. Perusahaan pengelola hutan harus menyimpan catatan-catatan yang menunjukkan pemenuhan terhadap poin 4.1. diatas
4.3. Konversi hutan ke tanaman atau penggunaan non-kehutanan tidak boleh terjadi, kecuali dalam keadaan dimana konversi :
a.  Terjadi pada bagian yang sangat terbatas dari KPH/Unit Kerja lainnya
b.  Tidak terjadi di kawasan HCVF
c. Secara jelas,  penting,  memperkuat, dalam memberikan keuntungan jangka panjang terhadap lingkungan dan sosial di KPH/Unit Kerja lainnya.
5.   Pemanenan kayu berasal dari rekayasa genetik, sehingga :
5.1. Perusahaan pengelola hutan harus memastikan bahwa tidak terdapat pohon hasil rekayasa genetik yang ditanam di KPH/Unit Kerja lainnya
5.2. Perusahaan pengelola hutan harus menyimpan catatan-catatan dan menyediakan bukti yang diminta untuk menunjukkan pemenuhan terhadap poin 5.1. diatas.

Kesimpulan
Implementasi dan sertifikasi PHL/SFM adalah perwujudan dari visi dan misi Perum Perhutani dimana didalamnya terdapat perbaikan kinerja dalam mengelola sumberdaya hutan yang diamanahkan pemerintah kepada Perum Perhutani sesuai PP No. 72 tahun 2010. Diharapkan dengan tercapainya hal tersebut maka pengakuan stakeholder dan pasar akan lebih luas sehingga pemasaran produk yang dihasilkan pun dapat diterima pada semua segmen pasar dengan nilai tambah yang tinggi.
Sertifikat LK (Legalitas Kayu)
Penyerahan Sertifikat LK (Legalitas Kayu) dari PT. Equality Indonesia ke Dirut Perum Perhutani
Penyerahan Sertifikat LK (Legalitas Kayu) dari Dirut Perum Perhutani ke Unit III Jabar dan Banten